Gaun merah itu sangat bagus. Tanpa lengan, hanya bertali. Potongannya panjang sampai mata kaki, namun terbuat dari bahan halus.
“ma, ini cocok sekali untukmu,” kataku sambil membolak-balik gaun malam malam itu. Melihat harganya, Rp 189.900,00 rasanya masih cukup terjangkau.
“kamu pasti tambah cantik kalau pakai gaun ini.”
Namun istriku menolak. “Aku enggak mau ah. Badanku tidak bagus lagi. Enggak pede memakainya.”
“siapa bilang tubuhmu enggak bagus lagi?”
“dua belas tahun menikah dengan empat anak, mas. Tubuhku tidak sekencang dulu lagi. Pinggang sudah mulai lebar. Perut sudah mulai gendut. Yang pantas pakai gaun seperti itu artis favorit mas, kulit kencang, seksi sekali.”
“tidak ma. Kamu masih cantik dan tetap cantik, kamu pujaanku. Percayalah, kamu akan tampak cantik mengenakan gaun ini.”
“aku selalu merasa tidak seksi mas”
Kulihat pramuniaga departemen store itu melirik istriku, dia sepertinya tak kuasa menahan senyum.
“sayang,” aku menggenggam jemari istriku.
“hidup ini terus berjalan. Manusia pasti berubah. Tapi, ada yang bisa tetap abadi, Cinta dan Kasih Sayang yang tulus.”
“Pokoknya, aku tidak ma. Maaf y mas. Mas enggak kecewa kan?”
Aku mengangguk terpaksa
JvvvJ
Aku baru tiba di kantor, ketika Wulan, operator kantor, menelpon HP ku. “Mas Billy dipanggil Pak Hendro di ruangannya.”
“oke, Wulan. Thank y”
Pak Hendro sedang membolak balik berkas saat aku datang. Pemimpin redaksi itu mengunyah permen untuk menghilangkan kebiasaan meerokoknya. Dia mengaku sudah empat puluh tahun merokok, sejak usia tiga belas tahun. Sekarang, dokter menyuruhnya berhenti karena dia terkena radang paru-paru.
“Assalamuala’ikum pak, bapak memanggil saya?”
“wa’alaikum salam. Duduk bil. “ Dia kembali mengupas sebuah permen.
“Bil, besok kamu besok kamu berangkat ke Aceh. Arifin kan sudah sebulan bertugas di sana. Gantian, tiket dan lain-lain sudah disiapkan oleh Sekretariat Redaksi.”
Pak Hendro lalu memencet telepon.” Fakhrul, ini Mas Billy sudah datang. Tolong diurus semuanya, ya”
Aku langsung menelpon istriku.”ma, aku ditugaskan si bos untuk meliputi operasi kemanusiaan di Aceh.”
“kapan berangkatnya mas ?” ada nada keterkejutan dan kekhawatiran di sana.
“Besok pagi”
“kok, mendadak sekali?”
“yah, aku harus gantikan kawan yang sudah sebulan bertugas di sana”
“Berapa lama mas?”
“aku enggak tahu. Mungkin sebulan, dua bulan, atau sampai selesai operasi. Tapi aku rasa mungkin sebulan. Nanti gantian sama kawan yang lain.”
“yaaakhh,mas aku sendiri dong”
“lho, kan ada Andri, Andini, Anggita, dan Alan. Anak-anak pasti menjaga mamanya.”
“iya deh” suaranya terdengar merajuk. “tapi di sana kan perang, aku takut mas jadi korban. Nanti aku jadi janda dan anak-anak jadi yatim.”
“husy, jangan bicara seperti itu. Soal mati di tangan Allah. Apakah kita akan mati di atas ranjang, kecebur di sumur, dibunuh perampok, atau tewas di medan perang, semua itu sudah di catat jauh sebelum kita lahir ke dunia ini, jangan takut sayang, serahkan semuanya kepada Allah.”
“baiklah mas”
“tolong siapkan pakaian ya. Malam ini insyaallah aku pulang lebih cepat.”
JvvvJ
Hampir sebulan lamanya aku meliputi operasi tersebut. Setiap hari harus melintas dari satu tempat ke tempat yang lain. Kadang-kadang harus berjalan di antara desing peluru. Dan, kalau kurang hati-hati, salah-salah bisa jadi korban.
Ketika akhirnya pak Hendro meneleponku dan menyuruhku pulang, rasanya aku bahagia sekali. Sebulan berpisah dengan istri dan empat anakku, rasa kangenku tak tertahankan. Meskipun sebagai wartawan aku sering ditugasi ke luar kota maupun ke luar negeri, pada dasarnya aku ini orang rumahan. Kalau ke luar kota, aku paling betah Cuma tiga hari. Setelah itu, bosan dan ingin cepat pulang. Kalua ke luar negeri, paling-paling aku senang seminggu saja, karena mengunjungi kota atau negeri yang baru. Setelah itu, kerinduan pada rumah dan kehangatannya segera menyergap.
Aku orang yang sangat menikmati berada di rumah, bersama istri dan anak-anakku. Setiap hari libur, kami selalu berkumpul bersama. Shalat subuh berjamaah di masjid sebelah rumah, setelah itu naik sepeda bersama. Pulang olahraga, istriku akan memasak masakan kesukaan kami. Sebagai lulusan SMKK, dia sangat jago masak. Anak-anak selalu memuji masakannya. Tentu saja aku pun demikian.
“Alhamdulullah, aku kangen sama kamu mas”
“Alhamdulullah, aku kangen sama kamu mas”
“aku juga kangen masakan mama. Nanti, bikinkan pindang bandeng, ya?.”
“oke syang, mau pesan apa lagi?”
“rempek kacang, sup kaki, bubur sumsum, kelepon, goreng pisang kepok, jus mangga, jus belimbing, wah...pokoknya banyak deh.”
“tenang aja, mas. Semua pasti mama sediakan.”
“terima kasih sayang.”
JvvvJ
Sampai di rumah, aku terkejut. Rumah sepi sekali. Hari telah petang.
Ragu-ragu, aku memencet bel, terdengarlah langkah di dalam. Istriku membuka pintu. Wajahnya menyemburatkan kerinduan.
“assalamu’alaikum”
“wa’alaikum salam.” Kami langsung berpelukan.
“anak=anak mana ma?”
“ini hari sabtu mas. Mereka katanya ingin menginap di rumah neneknya.”
“tapi, aku rindu sama mereka.”
“besok, mereka pulang mas”
Malam merangkak perlahan, aku baru saja menyelesaikan shalat isya berjamaah dengan istriku, ketika Pak Hendro menelpon. “Bil, kamu boleh istirahat dulu tiga hari. Biar bisa mengobati rindu sama istri dan anak-anak. Salam buat keluarga ya.”
“terima kasih pak hendro.”
Aku tak sabar untuk membuka pintu.
“halo, sayang,” sapa istriku penuh kehangatan. Aku terpana melihat pemandangan itu. Istriku mengenakan gaun merah yang dulu itu.
“aku beli gaun merah ini minggu lalu. Syukur, masi belum terjual, mudah-mudahan mas suka.”
“oh,ya, tentu saja,” sahutku masih belum lepas dari keter kejutan. “tapi, koq kamu mau memakainya?”
“ya, aku pikir tubuhku masih cukup bagus, kan? Tentu saja, jangan bandingkan dengan artis lho.”
Aku tertawa.”sayang, kecantikan itu juga kan tergantung bagaimana kita memandangnya, kecantikan dari dalam atau inner beauty jauh lebih langgeng dari sekedar kecantikan lahiriah saja.”
“anggap saja ini sebagai kado ulang tahun perkawinan kita yang kedua belas.” Istriku membisikkan.
”ya ampun, aku sampai lupa.”
Aku langsung merengkuh istriku. Wangi melati menguar dari tubuhnya.”terima kasih, sayang.”
“aku yang seharusnya berterima kasih padamu mas, adakah yang lebih membahagiakan selain dari kenyataan bahwa suami kita menerima kita apa adanya?”
Kukecup keningnya. Kubelai rambutnya yang tergerai hingga bahu.”aku tak pandai mengucapkan kata-kata romantis. Tapi, bolehkah aku katakan bahwa aku jatuh cinta lagi padamu?”
Dia tak menyahut. Tapi, sorot bening matanya mengandung sejuta makna.
2 komentar:
so sweetttt....
pinginn lahhh....
Posting Komentar